Jumat, 12 Agustus 2011

Ingin Berbakti Kepada Guru


Napak
 tilas—sebuah ungkapan yang dapat dimaknai sebagai “mengikuti jejak pendahulu dalam hal kebaikan”—sebenarnya merupakan sunnah Rasul dan para sahabat. Pada suatu ketika, beberapa orang sahabat pergi ke Madinah dengan mengendarai onta. Di bagian tertentu kota yang dikenal dengan sebutan Al-Madînah al-Munawwarah ini, pimpinan rombongan membawa ontanya berkeliling beberapa kali dan kemudian berhenti di depan sebuah rumah. Anggota rombongan terheran-heran dan bertanya, “Mengapa Anda melakukan hal itu?” Sang pimpinan menjawab, “Aku hanya mengikuti apa yang pernah dilakukan Rasul ketika pertama kali hijrah ke kota ini.”
Dalam kisah tersebut, pimpinan rombongan telah melakukan napak tilas, dan perbuatan itu pada dasarnya tidak termasuk dalam kategori ibadah. Hanya saja, karena hal itu dilakukan dengan niat “mengikuti jejak Rasul”, maka insya Allah akan tetap dicatat sebagai ibadah yang mendatangkan pahala. Sebuah hadis yang sangat terkenal mengatakan, “Setiap perbuatan tergantung pada niat, dan seseorang akan diberi pahala sesuai dengan niatnya.”
Ibadah haji, dengan semua manasiknya, yang ditetapkan Tuhan sebagai salah satu rukun Islam, sebenarnya juga merupakan napak tilas akbar yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu mengikuti jejak Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm dan salah seorang istrinya (Siti Hajar ‘alaihassalâm). Siti Hajar pernah berlari-lari panik mencari air dan juga pernah melempar Iblis yang berwujud manusia dengan batu atas perintah Tuhannya. Dua peristiwa ini, dalam manasik haji, dikenal dengan istilah sa’i dan lempar jumrah.
Sekarang pun kita sedang melakukan napak tilas, mengikuti jejak YML. Ayahanda Guru, berziarah ke makam wali-wali Allah shalâtullâhi wa salamuhu ‘alaihim ajma’în dengan niat ilâhî anta maqshûdî wa ridhâka mathlûbî. Berziarah ke makam mereka sama nilainya dengan berziarah kepada mereka ketika mereka masih hidup.


Siapakah Wali-Wali Allah Itu?
Menurut berbagai riwayat yang sahih, wali-wali Allah adalah hamba-hamba Allah yang memiliki karakteristik utama “tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allah” sebagaimana halnya Nabi saw. yang oleh `Âisyah digambarkan dengan “selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap detik yang beliau miliki”. Sebuah hadis yang berasal dari `Abdullâh ibn Mas`ûd menyatakan,  “Sesungguhnya di antara manusia ada kunci-kunci dzikrullah; apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir kepada Allah.”
Maksud “kunci-kunci dzikrullah” dalam riwayat tersebut adalah wali-wali Allah sesuai dengan sebuah hadis dalam riwayat Ibn `Abbâs yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allah itu?” Beliau menjawab dengan redaksi, “Orang-orang yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu serta merta berdzikir kepada Allah karena melihat mereka.”
Dalam hal dzikrullah semua wali adalah sama. Mereka dalam berdzikir sama-sama menjadi “nol”, ma’rifat mereka putus, dan yang ada hanya Mursyid. Mereka sama-sama ahli waris para nabi (waratsatul anbiyâ’), yang mengemban amanat dari “Langit” untuk menegakkan kalimatullâhi hiyal ‘ulyâ di muka bumi, dengan membawa hikmah akbar di dada mereka secara estafet, berantai, sambung-menyambung, yang pangkalnya adalah Nabi Agung Muhammad SAW.
Mursyid atau wali mursyid (istilah yang digunakan Al-Quran) adalah pembawa channelnûrun ‘alâ nûrin yang harus ditemukan semasa masih hidup oleh orang yang menuntut ilmu, dan wali semacam itu tidak akan pernah ditemukan kecuali oleh orang yang memperoleh petunjuk. Dalam sebuah ayat Al-Quran Tuhan berfirman, “Cahaya di atas cahaya (nûrun ‘alâ nûrin), Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya untuk menemukan cahaya-Nya.” (QS. An-Nûr [24]: 35). Dalam ayat yang lain Dia menegaskan, “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ia benar-benar memperoleh petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan, maka ia tidak akan pernah menemukan seorang wali mursyid.” (QS. Al-Kahfi [18]: 17). Tuhan yang dalam Al-Quran disebut dengan
Jadi, urgensi nûrun ‘alâ nûrin yang dibawa oleh wali mursyid sangat mutlak dalam kehidupan ber-Tuhan dan tidak mungkin diragukan kecuali oleh orang-orang yang memang “jauh dari hidayah”. Nûrun ‘alâ nûrin adalah faktor asasi yang menyebabkan amal setiap hamba (doa, salat, munajat, dll.) sampai ke puncak tujuan, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Nabi pun tidak akan pernah sampai ke hadirat Tuhan andaikata beliau tidak memiliki nûrun ‘alâ nûrin yang dibawa Jibril a.s. dengan sebutan burâq. Jibril sendiri menduduki fungsi mursyid bagi Nabi; ia membimbing dan menyelamatkan Nabi dalam perjalanan spiritual beliau menuju Tuhan. Andaikata tidak ada Jibril, niscaya Nabi telah terkecoh oleh bujuk rayu Iblis la’natullâh, dan selanjutnya Nabi pun—dengan nûrun ‘alâ nûrin yang ditanamkan Allah dalam rohani beliau—berfungsi sebagai mursyid bagi para sahabat sehingga mereka juga memperoleh karunia Tuhan berupa munajat yang efektif dengan berbagai pengalaman spiritual, antara lain melihat sorga dan neraka sebagaimana yang dialami Abû Bakar al-Shiddîq; dan pada gilirannya Abû Bakar al-Shiddîq pun menjadi mursyid sepeninggal Nabi, dan begitulah seterusnya secara berantai hingga sekarang.


Warisan Islam Kaffah
Meskipun semua wali Allah memiliki esensi yang sama, mereka secara alamiah memiliki perbedaan antara yang satu dan yang lain dalam hal tradisi, gaya dan penampilan. Perbedaan antara mereka dalam hal ini sama dengan perbedaan antara nabi yang satu dan nabi yang lain dalam hal yang sama. Namun begitu, satu hal yang pasti adalah bahwa ma’rifat mereka sudah putus; sebagai ahli waris Nabi mereka sama-sama mewarisi kerohanian (tarekat) Nabi dan secara otomatis mereka mewarisi syariat beliau sekaligus. Syariat dan tarekat atau fikih dan tasawuf adalah ibarat mata uang logam atau “saudara kembar” yang tidak dapat dipisah-pisahkan antara yang satu dan yang lain. YML. Ayahanda Guru pernah mengatakan, “Tarikat yang suci harus berdiri di atas syariat yang murni.” Beliau juga bahkan pernah mengatakan, “Tarikat itu adalah pengamalan syariat itu sendiri …. Kita harus masuk agama Islam secara keseluruhan, melaksanakan syariat dan hakikat zahir dan batin.”
Banyak sekali fatwa-fatwa YML. Ayahanda Guru yang menganjurkan agar kita semua mengamalkan ajaran Islam secara secara keseluruhan. Beberapa bulan sebelum berlindung, tepatnya pada tanggal 21 Juni 2000, beliau bahkan masih mengingatkan kita semua dengan fatwa-fatwa beliau, antara lain bahwa “mengamalkan syariat tanpa tarikat tidaklah bermanfaat”, dan sebaliknya “mengamalkan tarikat tanpa syariat tidaklah berkat”.
Fatwa YML. Ayahanda Guru semacam itu bahkan sering diulang-ulang oleh beliau—suatu hal yang sebenarnya mengisyaratkan bahwa kerohanian (tarekat) saja tidak cukup sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang ideal (sukses, harmonis, tenang dan bahagia). Islam adalah agama yang meliputi tiga unsur pokok: kerohanian, fikih dan akhlak. Dalam istilah Quraish Shihab ketiga unsur pokok ini disebut dengan akidah, syari’ah dan akhlak. Meskipun ada kemungkinan membagi kandungan ajaran Islam menjadi lebih banyak lagi, semuanya tetap tercakup dalam ketiga unsur pokok ini. Gabungan ketiga unsur pokok inilah yang dimaksud dengan Islam Kaffah dan yang wajib diamalkan oleh setiap Mukmin. Dalam kaitan ini, Tuhan berfirman, “Masuklah kalian semua ke dalam Islam secara kaffah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).
Dengan ketiga unsur tersebut—di mana fikih memiliki porsi yang sangat kecil (dalam Al-Quran hanya ada sekitar 200 ayat yang menyinggung soal fikih)—agama Islam menjadi agama yang sempurna. Kesempurnaan agama ini bahkan ditegaskan Tuhan melalui firman-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian, telah Kusempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (QS. Al-Mâidah [5]: 3).
Agama tanpa kerohanian adalah mustahil, bahkan dapat dikatakan bukan agama, melainkan hanya budaya belaka. Di sinilah letak “kekeliruan” pihak-pihak yang menentang tarekat. Mereka tidak mau menyadari bahwa dengan fikih an sich agama menjadi hilang keindahan dan kenikmatannya. Fikih membuat agama menjadi gersang dan cenderung melahirkan ekstremitas yang tidak proporsional. Perpecahan internal umat Islam pada umumnya terjadi karena paradigma fikih yang tidak dibarengi dengan kerohanian dan akhlak.
Sebaliknya, agama dengan kerohanian saja tanpa fikih dan akhlak—meminjam istilah YML. Ayahanda Gurutidaklah berkat, bahkan cenderung menimbulkan keresahan dan ketidakharmonisan. Kerohanian (tarekat) an sich, apalagi dengan kualitas yang sangat pas-pasan, tidak dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan yang dihadapi manusia. Nabi Musa a.s. tidak pernah menyuruh ular “metafisik”-nya mencangkul sawah dan menanam padi yang hasilnya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kepada ularnya Nabi Musa tidak pernah berkata, “Lar, tolong cangkulkan sawah ini; persediaan berasku sudah hampir habis!”
Memang, dalam kasus-kasus tertentu, kekuatan metafisik yang dijolok dengan kerohanian “tampak” dapat menyelesaikan masalah-masalah kehidupan duniawi, seperti kasus Nabi Ibrahim a.s. yang tidak terbakar api Namrud, atau tongkat Nabi Musa yang membelah lautan guna penyelamatan diri dari pasukan Fir’aun, atau keajaiban ‘Isa a.s. yang menghidupkan orang mati, atau juga kedahsyatan “batu sijjil” YML. Ayahanda Guru yang memadamkan api Galunggung. Semua itu sebenarnya hanya berlaku sebagai mu’jizat bagi nabi-nabi Allah atau sebagai karamah bagi wali-wali-Nya untuk membuktikan kebenaran dan kemenangan yang dijanjikan Allah untuk para kekasih-Nya yang di dalam diri mereka hanya ada Allah (suatu kondisi spiritual yang secara otomatis dan signifikan dapat melahirkan akhlak karimah dan ketaatan menjalankan fikih sebagai manifestasi ketaatan menjalankan perintah Tuhan). Bagi kita yang masih belum optimal dalam mengamalkan dzikrullah dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan, tentu saja hal itu tidak berlaku sepenuhnya; kita tidak dapat serta merta mengandalkan kekuatan metafisik sebagai satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi semua masalah kehidupan. Inilah mengapa saya selalu menekankan pentingnya sistem pembinaan akhlak dan pencerahan fikih agar kondisi minus dalam mengamalkan dzikrullah itu dapat terbantu. Dalam kaitan ini pulalah mengapa YML. Ayahanda Guru sendiri pada tanggal 10 September 1975 mengeluarkan fatwa kurang-lebih dengan redaksi: “Jangan pula engkau lalai pada ilmu syariat, untuk menambah ilmu fikih, memperkuat ilmu tauhid, dan membaca ilmu-ilmu tasauf ... Orang-orang dzikrullah harus mengejar kembali segala kekurangannya mengenai dasar-dasar ilmu fikih, ilmu tauhid dan ilmu tasauf, karena ketiga ilmu ini adalah penyaring segala pendapat dan filsafat yang mungkin timbul secara negatif dari peramalan dzikrullah itu sendiri.”
Kenyataan telah membuktikan bahwa sebagian ikhwan yang hanya mengandalkan kerohanian an sich cenderung “bermain-main” dengan kaji-kaji aneh dan sedikit-banyak mengabaikan akhlak dan fikih ternyata sering menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat sehingga tidak jarang kita terpaksa “berurusan” dengan pihak yang berwajib dan institusi-institusi lain yang terkait (MUI, KUA, Kejaksaan, dll.). Peristiwa-peristiwa semacam ini hampir selalu terjadi pada setiap masa, bahkan telah menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi berdirinya Badan Koordinasi Kesurauan (BKK) pada tahun 1983. Dalam acara Mengenang 100 Hari Berlindungnya YML. Ayahanda Guru pada tanggal 17 Agustus 2001, masalah ini pernah disinggung oleh Buya. “Pada tahun 1983 banyak surau-surau bermasalah dengan Kantor Urusan Agama sehingga berdirilah BKK,” kata Buya dalam pidatonya.
Ungkapan “bermasalah” dalam pidato Buya tersebut pada umumnya memang menyangkut “pelanggaran” syariat dan akhlak oleh sebagian jamaah, di samping memang ada kecurigaan-kecurigaan yang tidak sehat dan tidak proporsional dari pihak tertentu, terutama dari kalangan penentang tarekat. Apa pun, dengan adanya masalah-masalah tersebut, aktivitas dzikir jamaah TN sedikit-banyak menjadi terganggu.


Misi BKK ke Depan
Sebagai sebuah organisasi, BKK memiliki misi yang sejak dahulu hingga sekarang tidak berubah, dan secara umum dapat diungkapkan dengan redaksi:
        mengawal tharîqah  agar tetap “lurus”, berada dalam Islam, tidak menyimpang dari Islam (dengan kata lain: mengawal nama baik tharîqah yang cenderung lepas kontrol dengan merebaknya kaji-kaji aneh dan sesat).
        mengurus dan menjaga orang-orang tharîqah agar dapat berdzikir dengan tenang, tidak ada gangguan dari pihak mana pun.
        menyebarluaskan tharîqah sebagai bagian penting dari ajaran Islam, serta memotivasi umat Islam agar berdzikir dengan efektif.
Dengan misi tersebut BKK sebenarnya ingin mengajak ikhwan TN khususnya dan umat Islam pada umumnya agar mengamalkan Islam Kaffah secara optimal dan sungguh-sungguh dengan menjadikan unsur kerohanian (dzikrullah) sebagai ruh dari unsur-unsur Islam lainnya. Islam Kaffah yang diwarisi oleh wali-wali mursyid merupakan senjata utama meraih kemenangan duniawi dan ukhrawi yang dijanjikan Tuhan, sehingga kehidupan ideal dapat tercapai secara konkret, dan pada gilirannya posisi umat Islam sebagai khairu ummah dan khalîfah fil ardh dengan atribut rahmatan lil ‘âlamîn benar-benar terwujud secara nyata; tidak hanya sekadar terdengar indah di mimbar-mimbar khotbah tanpa bukti yang signifikan sebagaimana yang selama ini menjadi fenomena keseharian umat Islam. Bukankah hingga sekarang umat Islam sebagai sebuah kelompok, termasuk di Indonesia, masih berkubang dengan kegagalan dibandingkan dengan umat-umat lain (Jepang, Barat dan Eropa)? Mengapa fenomena yang sangat memprihatinkan harus menimpa umat Islam?
Bertolak dari fenomena itulah, sekarang BKK mulai memperluas dan mengembangkan misinya dengan maksud untuk memperkukuh misi yang selama ini sudah dijalankan dengan baik meskipun di sana-sini masih perlu dibenahi. Beberapa misi yang akan diwujudkan BKK pada masa–masa yang akan datang antara lain adalah:
        Memberikan kontribusi yang konkret kepada umat Islam mengenai pemahaman Islam kaffah dan penegakan akhlak karimah.
        Menjembatani dan merealisasikan upaya-upaya persatuan dan ukhuwah Islamiyah antargolongan dalam tubuh umat Islam.
        Mensosialisasikan konsep-konsep pemberdayaan umat Islam melalui forum-forum pelatihan, seminar dan workshop.
Dengan misi tambahan tersebut, yang secara de facto telah dilakukan dan diwujudkan oleh YML. Ayahanda Guru, BKK sebenarnya hendak memposisikan diri sebagai bagian yang sangat penting dari kekuatan Islam di Indonesia, bahkan juga di dunia. Semua itu dilakukan oleh BKK semata-mata untuk mengharumkan nama baik YML. Ayahanda Guru dan ajaran-ajaran beliau; atau, katakanlah, dengan semua itu kita hanya ingin berbakti kepada Guru.
Tidak diragukan bahwa satu-satunya cara berbakti kepada Guru adalah dengan menjalankan semua perintah beliau dan meninggalkan semua larangan beliau. YML. Ayahanda Guru menyuruh kita memperbanyak dzikir, menyuruh kita mengamalkan syariat, dan menyuruh kita memperbaiki akhlak; artinya, beliau menyuruh kita mengamalkan Islam Kaffah. Kita termasuk murid yang berbakti kepada Guru apabila mengerjakan semua ini. YML. Ayahanda Guru melarang kita bergunjing, karena bergunjing akan melemahkan persatuan dan menimbulkan fitnah yang merusak persaudaraan. Jika kita menghindari larangan ini—meskipun ada keinginan di dalam hati untuk melakukannya—maka kita termasuk murid yang berbakti. Adalah kebohongan yang nyata apabila kita mengaku berbakti kepada Guru sementara akhlak kita meresahkan orang-orang di sekeliling kita, senang bergunjing atau menghasud. Adalah bohong apabila kita menyatakan patuh kepada Guru sementara kita tidak masuk Islam secara kaffah.
Berbakti atau patuh kepada perintah Guru adalah kunci sukses. Dengan kerohanian saja, tarekat ini sebenarnya sudah besar dan tangguh, dan pasti akan jauh lebih besar dan lebih tangguh lagi jika dan hanya jika tarekat ini berada di tangan murid-murid yang benar-benar tahkik, patuh dan berbakti kepada Guru, yaitu murid-murid yang berakhlak dan mengamalkan Islam Kaffah.
Sebagai penutup tulisan ini, saya mengimbau kepada diri saya sendiri dan kepada Abang-Abang dan Kakak-Kakak semua, marilah kita mencintai Allah di atas segala-galanya, marilah kita berbakti kepada Allah, dan marilah kita mencintai Allah dengan cara mencintai saudara kita. Sungguh Nabi Muhammad telah menegaskan, “Tidaklah beriman orang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
Wallâhu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar